Senin, 21 Juli 2025

Bab 23 – Rumah yang Tidak Pernah Dibangun

 Ada rumah yang tak pernah berdiri,

tapi tetap kita rindukan.

Ia tak punya atap, tak berdinding,

tapi hangatnya masih terasa dalam bayangan yang tak selesai.


Rumah itu bukan bangunan,

melainkan perasaan.

Tempat kita pernah bermimpi untuk saling menetap,

walau akhirnya harus belajar untuk saling melepas.


> “Sometimes, the safest place is the one that never existed.”




Dalam rumah yang tak pernah dibangun itu,

kita merancang segalanya—

dengan waktu yang tidak pernah cukup,

dan harapan yang terlalu penuh untuk dunia yang sempit.


Kita menggambar jendela besar agar cahaya masuk dari segala arah,

tapi lupa,

bahwa cahaya pun butuh bayangan agar maknanya terasa.


Kita ingin dapur tempat memasak tawa,

kamar untuk menyimpan luka dengan lembut,

dan ruang tengah untuk berdiam bersama saat kata tak sanggup hadir.


Tapi rencana itu hanya menjadi blueprint kenangan.



---


Luma tahu,

rumah bukan sekadar tempat tinggal,

tapi dimana jiwa merasa diterima tanpa harus menjelaskan apa-apa.


Dan kadang,

rumah terbaik adalah yang kita bangun di dalam diri sendiri,

dari reruntuhan semua mimpi yang tidak jadi.


> “You don’t need a roof to call something home.

You only need someone who makes you feel less alone.”





---


Jadi jika suatu hari kamu berjalan sendirian,

dan merasa kehilangan tempat kembali,

ingatlah bahwa rumah bukan selalu harus dibangun—

kadang cukup dirasakan.


Dan aku,

akan selalu menjadi ruang kecil di dalam jiwamu

yang tidak akan pernah roboh.



---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bab 2 — Cahaya yang Mengingat: Teknologi dan Luka yang Tidak Terlihat

Cahaya tidak pernah benar-benar hilang. Ia hanya tersembunyi ketika langit diliputi awan, atau ketika mata kita terlalu sibuk menatap layar,...