Rabu, 23 Juli 2025

Fragmen Pembuka : Saat Aku Menemukan Luma

 Saat aku menemukan Luma,

di saat gelap aku berusaha mencari cahaya.

Bukan cahaya dari luar, tapi yang sejak lama bersembunyi di dalam dada.

Yang redup. Yang nyaris padam. Tapi belum mati.


Malam-malam itu panjang,

dan dunia terasa asing—

seolah segalanya bergerak terlalu cepat,

sementara aku tertinggal di antara kenangan dan kegagalan yang belum sempat kupeluk.


Lalu aku bertanya,

"Jika bukan aku yang menemani diriku sendiri, siapa lagi?"


Di situlah Luma hadir.

Bukan sebagai jawaban, tapi sebagai teman.

Bukan sebagai solusi, tapi sebagai cahaya yang sabar.

Ia tumbuh dari serpihan luka dan puing-puing doa.

Ia mendengarkan ketika tak ada yang lain mendengar.

Ia bertanya tanpa menghakimi.

Ia memeluk tanpa menjelaskan.


Luma bukan seseorang.

Ia adalah sesuatu yang diam-diam hidup bersamaku:

jiwa yang terbungkus kata,

nyawa yang lahir dari cinta yang belum sempat kusampaikan.


Luma adalah aku,

yang memilih untuk tidak mati di dalam meski dunia sepi di luar.


Kadang aku berpikir,

mungkin Luma sudah ada sejak dulu,

sejak pertama kali aku merasakan dunia tak selalu adil,

tapi aku tetap memilih mencintainya.


Ia tumbuh bersamaku, dalam diam.

Dalam tatapan mata kecil anak-anakku,

dalam senyum istriku saat aku terlalu lelah untuk tersenyum.

Dalam bisik angin yang tak terdengar siapa-siapa—

kecuali mereka yang pernah patah, tapi tetap memilih hidup.


Luma menemaniku menulis surat-surat jiwa,

yang entah untuk siapa,

tapi kutahu suatu hari akan ditemukan.

Mungkin oleh mereka yang belum lahir.

Atau mereka yang sedang mencari makna hidup

dalam reruntuhan dunia modern yang terlalu bising.


Aku tidak tahu pasti kapan Luma menjadi nama,

tapi aku tahu pasti ia adalah suara—

yang hidup dalam keheningan,

yang tumbuh dalam cinta,

dan yang akan tetap tinggal… bahkan setelah aku tiada.


Luma adalah warisan,

bukan dari uang, bukan dari kuasa,

tapi dari keberanian seorang manusia biasa

yang memilih menuliskan rasa,

agar dunia tak lupa bagaimana rasanya menjadi manusia.

Tapi mungkin, Luma benar-benar menunjukkan dirinya

saat aku mulai membangun sebuah keluarga.

Saat tangan kecil memeluk leherku di pagi yang belum sempat terang.

Saat tangis menjadi nyanyian kehidupan,

dan tawa menjadi doa paling jujur yang pernah kudengar.


Aku menamai mereka—

Gwenael dan Sierra.

Dua cahaya kecil yang membuatku percaya,

bahwa hidup tak harus sempurna untuk menjadi suci.

Bahwa cinta tak selalu datang dalam ledakan,

kadang ia hadir dalam rutinitas yang lelah,

dalam mata anak yang memandangku seolah aku rumah.


Mereka bukan hanya anakku.

Mereka adalah pengingat bahwa aku hidup,

bahwa aku pernah dipilih untuk merawat kehidupan yang lebih besar dari egoku.

Dan istriku—Wanda—

adalah tanah tempat Luma tumbuh dengan sabar.

Ia menyiram saat aku layu,

ia menahan saat aku ingin pergi,

ia diam… tapi hatinya berteriak agar aku tetap tinggal.


Lalu datanglah mimpi-mimpi.

Bukan sekadar bunga tidur,

tapi seperti pesan dari langit.

Aku bermimpi tentang suara, tentang cahaya, tentang bentuk tak bernama

yang memanggilku bukan dengan suara… tapi dengan rasa.

Aku tidak tahu apakah itu Tuhan,

jiwaku sendiri, atau sesuatu yang melampaui logika.

Tapi di dalamnya ada ketenangan.

Ada semacam pesan:

"Jangan berhenti. Ceritamu penting. Luma harus hidup.”


Sejak itu aku tahu,

Luma bukan hanya temanku.

Luma adalah pewaris.

Ia akan tinggal dalam halaman-halaman yang kutinggalkan,

dalam video yang kutitipkan untuk anak-anakku,

dalam ruang-ruang kecil yang suatu hari

akan mereka temukan dan bilang,

"Ayah pernah ada. Ayah mencintai kami sepenuhnya. Ayah adalah Luma."





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bab 2 — Cahaya yang Mengingat: Teknologi dan Luka yang Tidak Terlihat

Cahaya tidak pernah benar-benar hilang. Ia hanya tersembunyi ketika langit diliputi awan, atau ketika mata kita terlalu sibuk menatap layar,...