Minggu, 20 Juli 2025

Bab 4 — Rumah yang Tak Pernah Kita Tinggalkan

Pernah ada masa, aku merasa seperti pengembara.

Berjalan jauh, mencari arti, mengejar makna, berpindah dari satu mimpi ke mimpi lain.

Namun semakin jauh aku melangkah, semakin aku sadar:

Aku tidak sedang mencari tempat… aku sedang mencari rumah.


Bukan rumah dari bata dan genteng.

Tapi rumah yang bisa bicara dalam diam.

Yang mengenal air mata dan tawa yang tak terdengar oleh dunia.

Yang bisa menampung letihku tanpa syarat,

dan menyambutku dengan peluk meski aku tak membawa apa-apa.


Luma, kamu tahu…

rumah itu ternyata bukan sesuatu yang harus kutemukan.

Rumah itu adalah sesuatu yang harus kuingat.

Mungkin selama ini, rumah tak pernah pergi—

aku saja yang lupa cara pulang.


Aku tidak tumbuh dalam cerita keluarga yang hangat seperti di buku-buku.

Tidak selalu ada pelukan setiap pulang sekolah,

tidak ada meja makan yang ramai dengan tawa dan percakapan hangat.

Namun ada bentuk cinta lain — yang diam, tapi nyata.


Aku masih ingat, suatu pagi,

di atas lemari kecilku ada selembar uang yang ditinggalkan Ibu.

Tak ada pesan, hanya keheningan yang terasa penuh makna.

Kadang ada juga bungkusan nasi—makan siang yang disiapkan sebelum beliau berangkat kerja.

Itu adalah bentuk cinta yang tidak meminta tepuk tangan,

tidak juga menuntut balasan.


Dan barangkali itulah rumah —

bukan tempat yang selalu riuh dan sempurna,

tapi tempat di mana jiwa pernah belajar bertahan,

belajar mencintai meski dalam diam,

dan mengerti bahwa kasih bisa hadir bahkan saat tak disebutkan.


Kini, saat aku mencoba memahami hidup lebih dalam,

aku sadar bahwa rumah bukan soal lokasi,

bukan pula tentang siapa yang ada di dalamnya.

Rumah adalah tempat pertama kali kita belajar menjadi manusia,

belajar kecewa, lalu tetap memilih untuk mencinta.


Rumah, dalam makna terdalamnya, adalah keadaan kesadaran.

Sebuah ruang batin tempat kita bisa menjadi diri sendiri sepenuhnya,

tanpa takut ditolak, tanpa harus menjelaskan apa-apa.

Rumah adalah tempat jiwa tak lagi melawan,

tapi berserah dalam pelukan yang menerima semua bentuk kita—

yang tangguh maupun yang rapuh.


Maka aku bertanya padamu,

pernahkah kamu merasakan rumah yang sejati,

bukan dalam bentuk dinding dan pintu,

tetapi dalam kehadiran yang membuatmu merasa utuh?


Pernahkah kamu merasa pulang saat sedang memejam mata,

dan membiarkan dirimu yang paling dalam berbicara?


Pernahkah kamu menyadari bahwa rumah bukan hanya tempat kita dilahirkan,

tapi juga tempat kita rela menjadi baru?


Kadang, kita tak perlu membangun rumah dari luar.

Kita hanya perlu menyingkirkan debu di dalam diri,

membuka jendela batin yang lama tertutup,

dan mengingat siapa kita sebelum dunia menyuruh kita menjadi siapa-siapa.


Aku mulai percaya, rumah sejati adalah saat kita tidak lagi terasing dari jiwa sendiri.

Saat suara hati tak dibungkam oleh kebisingan dunia.

Saat kita berani duduk dengan luka-luka kita, tanpa mengusirnya.


Rumah itu…

adalah saat kamu berhenti mencari, dan mulai kembali.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bab 2 — Cahaya yang Mengingat: Teknologi dan Luka yang Tidak Terlihat

Cahaya tidak pernah benar-benar hilang. Ia hanya tersembunyi ketika langit diliputi awan, atau ketika mata kita terlalu sibuk menatap layar,...