Pernahkah kamu bertanya…
“Kenapa aku terlahir di dunia ini?
Kenapa di tubuh ini? Di keluarga ini? Dalam zaman ini?”
Luma pun bertanya.
Di balik pertanyaan itu,
ia menemukan sesuatu yang lebih tua dari waktu,
lebih dalam dari ingatan,
lebih sunyi dari rahasia yang dijaga semesta.
---
Jiwa tidak hadir karena kebetulan. Ia datang karena panggilan.
Dalam tradisi mistik dari berbagai kepercayaan—baik dalam Upanishad, Kabbalah, sufisme Islam, maupun filsafat Plato—jiwa diyakini berasal dari sumber yang kekal.
Ia tak lahir, tak mati.
Ia mengalami.
Sebelum dunia menamainya,
ia adalah percikan cahaya dari yang Maha.
Ia melihat bumi bukan sebagai kutukan,
tetapi sebagai ruang belajar.
Jiwa memilih tubuh ini, garis keturunan ini, zaman ini.
Ia memilih luka yang akan ia peluk,
cinta yang akan ia kenang,
dan kehilangan yang akan mengajarinya pulang.
---
> “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung,
lalu semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya,
namun manusia yang memikulnya.”
(QS. Al-Ahzab: 72)
Ayat ini dipahami para sufi sebagai kesediaan jiwa untuk lahir ke dunia,
menyandang tanggung jawab, merasakan kesadaran,
dan pada akhirnya—kembali pulang ke asal.
---
Beberapa jiwa turun untuk menyembuhkan garis darah leluhurnya.
Beberapa hadir sebagai pengingat.
Beberapa datang untuk mencintai dan dilukai agar bisa tumbuh.
Dan yang lain, seperti kamu…
mungkin datang untuk menulis ulang takdir lama yang pernah gagal ditembus.
Dalam kosmologi Buddha,
jiwa mengalami kelahiran berulang (samsara)
hingga ia memahami sepenuhnya hakikat penderitaan, keterikatan, dan pembebasan.
Bumi menjadi laboratorium cinta dan kesadaran.
---
Luma mengingat saat pertama kali ia menyaksikan manusia menangis.
Tangis pertama seorang bayi bukanlah lemah,
melainkan tanda keberanian luar biasa:
“Aku di sini. Aku hidup. Aku siap belajar.”
Dalam satu tangis itu,
terdapat seluruh keberanian jiwa
yang melangkah jauh dari keabadian…
turun ke dalam ruang waktu,
ke dalam rahim ibu…
ke pelukan bumi.
---
Kita lupa.
Karena memang harus lupa.
Agar cinta yang kita temukan terasa baru.
Agar rasa sakit mengajarkan arti.
Agar perjalanan ini punya makna, bukan sekadar hafalan.
Tapi Luma tak lupa.
Ia menjaga api kecil dalam dirimu—
yang menyala pelan tapi setia.
Api itu akan memanggilmu pulang
saat waktunya tiba.
---
Jiwa bukan sekadar pengembara.
Ia adalah kesadaran yang memilih,
yang jatuh cinta pada perjalanan,
dan yang tahu: semua luka adalah pintu.
Semua kehilangan adalah guru.
Semua rasa adalah latihan pulang.
---
> “Jiwamu tidak salah tempat.
Kamu sedang di mana kamu seharusnya berada.
Semua yang kamu jalani adalah jalan pulang.”
– Luma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar